“Tapi yah, ini kan udah semester 5. Riki sekolah juga tinggal 3 bulanan lagi…”
“Kalo kamu ga mau kamu bisa kost, gimana?”
“Kost?” aku tak habis pikir dengan pemikiran ayah, dia tega meninggalkanku di kota yang baru ku tinggali 6 bulan saja. Bukan aku tak mandiri, bukan aku tak berani, aku hanya tak ingin berpisah dengan ayahku. Walaupun kami tinggal bersama tapi ayah jarang ada di rumah, kalau aku berpisah dengan dia, aku akan semakin jarang bertemu. Terserah kalian mau bilang aku anak manja tapi aku memang menyayanginya.
Akhirnya aku mengikuti kepindahan ayahku ke Jakarta. Setiap tahun ayah biasa dipindahtugaskan dari satu kota ke kota lain, kadang bukan antar kota tapi bisa antar pulau. Sumatra, Kalimantan, Jawa aku sudah biasa. Kali ini memang hanya pindah ke Jakarta, tempat tinggalku sewaktu SMP kelas tujuh sebelum aku pindah ke kota tertua di negriku, Palembang. Dan kali ini aku akan kembali ke Jakarta.
Jakarta bertambah macet, udaranya makin kotor. Apa aku akan betah. Harus. Mau tidak mau harus betah.
“Hari senin besok kamu sekolah di SMA 333…”
“Hah? Dimana yah? Ga salah?”
“Kalo kamu ga mau kamu cari sendiri aja, lagian emang kamu maunya dimana? Ayah sibuk …”
Jarak sekolah itu dengan rumahku lumayan jauh, bukan, bukan lumayan tapi memang jauh. Walau ayah memberiku izin menggunakan mobil untuk ke sekolah tapi aku tak mau menggunakannya. Bukannya apa tapi aku tak mau dibilang anak sombong atau sok kaya, ya walaupun aku memang kaya.
Hari senin aku berangkat lebih awal, sekitar jam 5 pagi. Jakarta biasanya akan sangat macet di hari senin. Tiba di sekolah baruku jam 6 pagi. Sekolahku yang ini ukuran sangat kecil menurutku, hari jumat kemarin aku sudah ke sini, berkeliling melihat isi sekolah dan menyerahkan beberapa dokumen. Walau ku lihat sekolahku banyak keterbatasan sarana dan prasarananya tapi di sini lumayan bersih. Di sini aku akan menghabiskan waktu terakhirku di masa putih abu-abu.
Aku mengikuti upacara, agak canggung sih karena belum ada orang yang ku kenal. Tasku masih diruang guru dan aku belum diperkenankan masuk kelas. Bel jam pertama dimulai, wali kelasku Bu Ami mengantarku ke kelas. Kelasku berada di pojok lorong dekat kamar mandi perempuan. Ukuran kelasku sangat kecil, saat Jumat kemarin aku berkeliling, ku pikir ruangan ini bukan ruang kelas ternyata ini kelasku. Aku kaget saat memasuki kelasku, murid di kelasku jauh lebih sedikit dibanding dengan kelas di sekolahku sewaktu aku di Kalimantan, padahal di sana aku tinggal di pedesaan, tak disangka aku bisa menemukan kelas dengan jumlah murid sesedikit ini.
Brakkk..brak..braaak… Bu Ami menggebrak meja karena kelas terlalu berisik.
“Anak – anak kenalkan ini Riki. Dia pindahan dari solo… Riki, kamu bisa duduk di sana, depan meja guru.”
Aku melirik sebentar ke posisi tempat dudukku, bangku paling depan tapi tak ada yang mengisinya. Aneh, biasanya di pojok belakang yang tak diisi. Aku berjalan dan duduk ditempat yang dipersilahkan wali kelasku.
“Kalo kalian mau kenalan nanti aja pas istirahat, sekarang belajar dulu. Jangan berisik, ibu mau panggil guru MTK kalian.” Bu Ami pergi meninggalkan kelas sementara suasana makin ramai.
Ini lah anak Jakarta, berbeda dengan anak daerah. Karena ukuran kelas yang kecil dan suara murid-muridnya yang keras, aku bisa mendengar percakapan mereka, salah satunya percakapan yang berasal dari barisan di seberang sana, barisan yang banyak dihuni para siswi. Bukan aku terlalu percaya diri, tapi mereka memang membicarakanku, tanpa sadar aku jadi senyum-senyum sendiri. Aku memulai pembicaraan dengan siswa yang duduk di belakangku, menanyakan tentang buku pelajaran di sini. Di sini buku pelajaran dipinjamkan oleh perpustakaan. Oke, berarti istirahat nanti aku akan ke perpustakaan di lantai atas.
Pelajaran MTK di sini seperti ini ya? Mengagetkanku, karena aku duduk di barisan paling depan. Beruntung, guru MTK memaklumiku yang murid baru ini.
Bel istirahat tiba, aku bergegas ke perpustakaan. Tapi saat menaiki tangga aku, aku baru sadar kalau aku tidak tahu di mana letak perpus. Saat hari Jumat kemarin aku tak sempat keliling ke lantai atas. Sebenarnya aku malas bertanya, tapi jam istirahat pertama di sini terlalu singkat, aku harus cepat. Aku bertanya kepada salah seorang siswi.
“Perpus dimana ya?”
Bukannya menjawab. mereka malah cekikikan, walau akhirnya mereka memberitahuku juga.
Perpusnya kecil banget, bukunya sedikit. Untung aku masih kebagian buku.
Di kelasku beberapa siswa mengajakku berkenalan, tapi belum ada satu siswi pun di kelas ini yang mengajakku berkenalan, eh aku ralat, ada, tapi aku tak tahu namanya, ia duduk di barisan sampingku. Itu pun karena dia sekretaris yang memang tugasnya mengabsen siswa.
Walau belum sebulan tapi aku sudah bisa mengenali watak anak-anak di kelasku. Adanya yang pendiam, alim, cerewet, sok akrab, watak mereka begitu mudah ku tebak.
“Riki... ikutan futsal yuk !” ajak salah seorang temanku. Di sekolahku ini kalau ada jam kosong dan lapangan sedang kosong anak-anak akan langsung turun ke lapangan untuk bermain.
Walau awalnya canggung, tapi lama-kelamaan aku bisa menyesuaikan diri. Bukan hal sulit memang untuk menyesuaikan diri, aku sudah terlalu biasa.
20/07/2012 17:30
No comments:
Post a Comment