Pergi ke dokter dengan keluhan, dikasih solusi untuk mandi. Pergi lagi ke dokter dengan keluhan di wajah, dikasih solusi untuk membuka kaca helm saat dalam perjalanan dan memilih masker yang sirkulasinya bagus. Katanya saya alergi panas.
Beberapa tahun sebelumnya saya pergi ke dokter dengan keluhan yang sama seperti sekarang dan didiagnosa dokter saya alergi dingin.
Setelah saya renungkan, kenapa bisa saya yang tadinya alergi dingin jadi alergi panas. Saya ingat-ingat lagi beberapa tahun yang lalu di siang hari yang terik pun keluhan saya muncul. "Oh mungkin saya alergi debu juga", itu yang ku pikirkan. Tapi selanjutnya dalam keadaan yang tidak panas dan berdebu, keluhan saya kembali muncul. Saya heran. Tapi tidak ambil pusing. Hanya alergi pikir saya.
Kembali ke masa sekarang. Saya tidak lagi kembali ke dokter itu. Saya pergi ke psikiater. Setelah menceritakan apa saja yang saya alami tentang hidup yang saya jalani, saya ga cerita saya alergi ini itu. Dokter bilang saya stres, dan bertanya kepada saya apakah saya pernah ngalamin beberapa gejala yang dia sebut salah satunya adalah yang saya alami. Dokter bertanya lagi kapan saja gejala itu muncul. Saya ingat-ingat lagi, beberapa tahun yang lalu gejalanya muncul saat saya dipersiapkan untuk lomba mewakili angkatan saya di sekolah dan sedang persiapan ujian sekolah juga. Yang walaupun pada akhirnya saya tidak jadi ikut lomba karena gejala yang saya alami. Saya memang keberatan untuk mengikutinya, tapi saya tidak sanggup menolaknya. Salah satu penyebab stres saya adalah tidak mampu berkata tidak. Semua diiyakan, alasan tidak enak kalau menolak. Tapi kalau cowok saya tolak semua, rasanya ga enak juga sih. Tapi terlalu banyak hal saya iyakan, jadi untuk pacaran saya kesampingkan dulu saat itu.
Penyebab stres sekarang juga masih sama. Saya masih tidak enakan kalau menolak.
Kapan sih saya sadar sama penyebab - penyebab saya stres? Saat saya sudah pergi ke psikiater. Kami berbincang, tanya jawab, lebih banyak saya yang cerita.
Setelah tau penyebab - penyebab saya stres, yang harus saya lakukan adalah memikirkan solusinya. Sampai saat ini masih saya coba untuk berkata tidak. Rasanya ga enak, ngeliat ekspresi yang ditolak juga ga enak, saya pun merasa bersalah. Tapi saya ga mau stres lagi, kalau saya stres mereka juga ga ikut membantu saya untuk sembuh dari gejala - gejala yang timbul akibat stres.
Berat memang berkata tidak, tapi apakah saya harus membahagiakan semua orang dengan berkata 'ya'.
Penyebab stres saya lainnya adalah semua hal harus sesuai keinginan saya. Masalah nilai ketika sekolah wajib bagus, prilaku saya harus saya jaga, kebersihan juga harus saya jaga, tata tertib harus saya patuhi, untuk urusan - urusan ini saya terapkan hanya kepada diri saya, saya cenderung perfeksionis. Diterapkan kepada diri sendiri saja sudah bikin saya stres, untung tidak saya terapkan ke orang lain, bisa makin stres karena mengatur manusia sesuai keinginan itu akan sangat sulit.
Saran dari dokter adalah saya harus bisa bersantai, menikmati keadaan, mengalami apa yang saya alami, tidak apa-apa kalau tidak sesuai keinginan saya, di lain waktu bisa dicoba lagi.
Saya di kehidupan nyata adalah orang yang benar - benar berbeda dengan orang yang di blog ini. Padahal itu masih saya - saya juga.
Saya seperti memiliki dua sisi. Di satu sisi semuanya harus sesuai keinginan, harua sempurna. Di sisi lain, saya merasa itu bukan saya. Saya takut kalau orang lain tau hal ini mereka akan menggosipkan saya, menjauhi saya. Saya memiliki kecemasan berlebihan, ini juga jadi salah satu penyebab saya stres.
Dari hal - hal yang saya ceritakan tadi ada satu hal yang akhirnya baru saya sadari sekarang, yaitu saya sulit menemukan tim yang cocok untuk saya. Saya sulit beradaptasi. Sejak sekolah bila kerja kelompok memang seringnya saya yang mengerjakan sendiri, anggota lain selalu ada alasan tidak bisa mengerjakan. Karena kebiasaan anggota lain yang banyak alasan, akhirnya saya terbiasa mengerjakan sendiri. Makanya ketika saya bertemu orang yang cocok, dalam artian dia pun mau ikut berusaha mengerjakan tugas tim, saya merasa sangat beruntung. Orang yang langka. Untungnya ketika bekerja, orang yang satu tim dengan saya bisa diandalkan. Tapi namanya juga manusia, walaupun visinya sama tapi misinya beda-beda. Berbenturan dengan pendapat-pendapat lain, dan saya kesulitan berkata tidak, lagi - lagi ini jadi salah satu penyebab stres saya.
Cemen banget ga sih masalah - masalah saya. Iya memang cemen, memang sepele. Nah dari yang sepele-sepele ini tidak dicari solusinya, ditumpuk saja makin lama makin besar jadi jauh dari kata sepele. Masalah - masalah kecil yang tidak diatasi, menumpuk lalu menjadi stres, dari stres yang tidak diatasi bisa membuat depresi. "Oh hidupku penuh dengan masalah!", muncul pernyataan seperti itu karena masalah - masalah yang tak teratasi lalu menumpuk jadi besar.
Ga karuan banget deh. Dipandang orang lain betapa lemahnya. Mereka ga tau seberapa sulitnya bertahan seseorang dengan semua masalah yang dipendam. Saya beruntung, psikiater pertama yang saya temui cukup membantu, tidak semua hal saya sependapat dengannya, tapi syukurlah saya tidak bertemu dengan tipe psikiater yang Lee Suho dari webtoon True Beauty temui, psikiater yang tidak peduli terhadap yang kita alami hanya fokus memberikan obat. Ada ga sih psikiater yang seperti Suho temui? Jawabannya ada. Saya pernah menemukannya. Memang benar-benar hanya fokus terhadap obat, saya mikirnya udah kaya sales obat. Maaf. Memang seperti itu rasanya saat saya bertemu dengan psikiater yang hanya fokus pada obat, yang tidak segan menambah dosisnya. Beberapa obat bisa menimbulkan efek samping yang lumayan, apalagi obat-obatan yang didapat dari psikiater itu bukan obat yang mudah ditemui dan didapat juga punya efek samping yang berbeda di tiap orang dan yang pasti perlu pengawasan. Dari psikiaterku sendiri, saya diberi obat edisi terbaru dengan efek samping yang minimal tapi untuk merasakan manfaatnya perlu waktu agak lama. Lalu karna suatu hal, aku pindah dari psikiater ini. Dan dapat psikiater kaya Suho, awalnya enak apalagi dikasih obat yang beda, mantap manfaatnya langsung terasa. Lama-lama kok seperti berkurang manfaatnya, lantas ditambahi dosisnya.
Saya punya prinsip 'high risk high return' manfaat sebesar ini, efek sampingnya sebesar apa? Setelah cari informasi, saya pikir saya perlu balik lagi ke psikiater pertama. Di psikiater pertama ini saya ga bisa langsung balik ke obat yang pertama saya dapatkan. Pertama saya harus mengurangi dosis obat dari dokter kedua secara perlahan, ga bisa langsung drastis turun dosisnya. Setelah itu selesai baru deh saya balik ke obat pertama saya sembari dikasih wejangan-wejangan dalam menghadapi hidup ini. Manfaat dari obat yang pertama ini rasanya super lama, untuk efek sampingnya badan saya sudah beradaptasi tidak seperti saat pertama kali yang rasanya nyiksa banget. Kalau dibanding dengan obat dari dokter kedua, ini ga ada apa - apanya.
No comments:
Post a Comment